Minggu, 13 Februari 2011

Apakah Hindu Agama Misi?


Di dalam satu segi Agama Hindu dapat dianggap sebagai contoh pertama dari agama
misionaris. Hanya saja sifat misionarisnya berbeda dengan yang diasosiasikan
dengan kepercayaan-kepercayaan yang menarik orang-orang untuk masuk dan menjadi
pemeluk. Agama Hindu tidak menganggap sebagai panggilan untuk membawa manusia
kepada suatu kepercayaan. Sebab yang diperhitungkan adalah perbuatan dan bukan
kepercayaan. Penyembah dewata yang berlainan dan pengikut dari upacara yang
berlainan dibawa ke dalam lingkungan Hindu.

Sri Krishna menurut Bhagavad Gita menerima sebagai bagian dari diriNya bukan
saja golongan yang tertindas, perempuan dan para buruh, tetapi bahkan juga
keturunan dari orang-­orang yang tidak bersih (papayonayah) seperti para Kirata
dan Hunaa.

Praktik kuno vratyastoma yang dijelaskan secara rinci di dalam Tandya Brahmana
menceriterakan bahwa bukan saja perseorangann bahkan satu bangsa diserap
kedalam Agama Hindu. Ketika di dalam saat-­saat kemenangan mereka terhadap
lawan-lawan yang mereka kalahkan, mereka tidaklah menghina kepercayaan mereka
yang kalah. Penduduk asli India Utara memberikan busana kepada kekuatan alam
yang telanjang dengan hiasan mewah dari khayalan dongeng dan menemukan
dewa-dewi, hantu, dedemit dari pergantian alam dan orang Arya yang Veda
menerima mereka semua dan menempatkan mereka semuanya sejajar dengan penghuni
langit dan surga yang memang disembah oleh orang Arya.

Adalah cukup bagi mereka bahwa objek-objek yang kasar itu dianggap oleh
pengikutnya sebagai sumber dari berkah yang paling tinggi dari hiidup dan
sebagai pusat kekuatan yang bisa dimanfaatkan. Dewata di dalam Rg Veda dan
hantu di dalam Atharva Veda melebur dan bergabung di dalam satu adonan falsafah
yang kuat dan menjadi satu kenyataan yang maha tinggi dan sesuai dengan
kwalitas fikiran kita diberi nama. ini dan itu. Itihasa dan Purana
menghubungkan penerimaan bangsa-bangsa baru ini serta dewa dewa mereka ke dalam
lingkungan keluarga yang lama.

Pertentangan kepercayaan dan hubungan kebudayaan sebagai hukumnya tidaklah
menghasilkan dominasi dari yang satu kepada yang lainnya. Di dalam hubungan
yang sesungguhnya, pastilah ada pertukaran unsur-unsur, walaupun (bekas) unsur
asing diberikan tempat layak oleh mereka yang menerimanya. Sikap emosional yang
melekat kepada bentuk-bentuk lama dirubah dan dialihkan kepada hal baru, yang
ditempelkan kepada latar belakang yang lama.

Berbagai bangsa dan ras memiliki binatang pujaan dan ketika mereka memasuki
masyarakat Hindu, binatang pujaan itu menjadi kesdaraan dan sahabat dari para
dewata. Salah satu dari mereka berkendaraan burung merak, yang lainnya angsa,
sapi jantan, kambing. Penempatan Hanuman yang mengabdi kepada Sri Rama
memperlihatkan pentingnya titik temu antara penyembah alam yang permulaan
dengan theisme yang belakangan.

Tarian Sri Krishna di atas Kaliya menunjukkan penempatan yang lebih bawah
(kalau bukan penghapusan) dari penyembahan ular. Dipatahkannya gendewa Siva
oleh Sri Rama memperlihatkan pertentangan antara gagasan Veda dengan penyembah
Siva, yang segera menjadi Dewata Se1atan (Dhaksinamurti).

Ada berbagai kisah di dalam Purana dan Ithihasa yang menggambarkan rekonsiliasi
antara kepercayaan Veda dengan yang bukan. Leluhur yang disembah, orang orang
suci lokal, pengaruh planet­-planet dan dewa-dewa-nya suku bangsa, semuanya
diterima di dalam jajaran dewata-nya Hindu, walaupun mereka itu semuanya
ditempatkan di bawah Yang Nyata Yang Tunggal, dimana selanjutnya mereka
menganggapnya sebagai aspek­-aspeknya saja. Politheisme-nya diorganisir di
dalam jalan yang monistik. Hanya saja ini bukanlah monotheisme yang kaku, yang
tidak memberikan kepada para pengikut mereka toleransi terhadap mereka­-mereka
yang memiliki fikiran yang berlainan. (Paham ketuhanan Hindu adalah pantesitik,
bukan monoteistik, pen)

Penyembahan pratima yang merupakan bagian terpenting dari kepercayaan Dravida
diterima oleh bangsa Arya. Cita cita mengenai vegetarian dan ahimsa
dikembangkan. Methode Hindu tentang reformasi agama pada dasarnya adalah
demokratis. Dia membiarkan setiap golongan untuk memperoleh kebenaran melalui
tradisi mereka sendiri, melalui jalan disiplin fikiran dan moral. Sedang kita
tetap diberikan kesempatan untuk mempergunakan nama yang sarna, kita dianjurkan
untuk lebih memperdalam maknanya.

Agama Hindu tidak memiliki kepercayaan mengenai pembawaan keseragaman yang
bersifat mekanis dari kepercayaan dan sembah, dengan pemaksaan penghilangan
semua yang tidak sesuai dengan suatu kepercayaan tertentu. Dia juga tidak
percaya kepada jalan pembebasan yang diundangkan. Skema pembebasannya tidaklah
terbatas kepada mereka yang memiliki pendapat tertentu tentang sifat Tuhan atau
sembah. Kemutlakan menyendiri seperti itu adalah tidak sesuai dengan Tuhan yang
memiliki cita- cita semesta. Adalah tidak adil kepada Tuhan atau manusia bahwa
satu orang adalah yang dipilih Tuhan, agama mereka menempati kedudukan utama di
dalam perkembangan keagamaan seluruh umat manusia dan bahwa semuanya harus
meminjam dari mereka atau menghadapi pengucilan rohani.

Lebih dari pada itu yang pokok bukanlah kepercayaan melainkan tindakan. Melalui
buahnya kita akan memahaminya dan bukan dari apa yang mereka percayai. Agama
bukan saja kepercayaan yang benar melainkan juga hidup yang benar. (Bandingkan
dengan pendapat Spinoza : Agama adalah universal di dalam ras manusia; apabila
keadilan dan kedermawanan memiliki kekuatan hukum dan peraturan, ,maka inilah
yang dinamakan kerajaan Tuhan."). Mereka yang sungguh-sungguh saleh tidak
pernah khawatir tentang kepercayaan orang orang (lain). Pembaru sesungguhnya
memurnikan dan meluaskan warisan dari umat manusia dan bukan mengecilkannya dan
tentu saja pasti bukan menyangkalnya.Mereka yang menguasai sekte atau agama
mereka melebihi kebenaran pada akhirnya akan mencintai diri mereka sendiri
ketimbang sekte atau agama mereka.

Agama Hindu tidaklah membantu sophisme yang sering dituduh bahwa dengan memaksa
seseorang untuk memiliki pendapat yang benar adalah sah . saja, bagaikan
membebaskan seseorang dengan paksa dari kemauannya untuk bunuh diri ketika
berada di dalam keadaan mabuk. Tiadanya toleransi di dalam monotisme yang
sempit telah ditulis dengan darah sepanjang sejarah manusia, sejak ketika suku
pertama bangsa Israel meri1asuki daerah Canaan. Penyembah dari satu Tuhan yang
cemburu melakukan peperangan terhadap mereka yang memiliki kepercayaan lain.

Mereka menjatuhkan "hukuman Tuhan" atas kekejaman yang diderita oleh mereka
yang dikalahkan. Semangat dari Israel lama diwarisi oleh Kristiani dan Islam.
Perang antar agama yang adalah hasil dari fanatisme yang membenarkan pembunuhan
dari orang orang yang berbeda kepercayaannya hampir-hampir tidak dikenal di
dalam budaya Hindu.

Memang disana sini terjadi letupan fanatisme, tetapi Agama Hindu tidak pernah
menganjurkan penghukuman terhadap mereka yang tidak memiliki kepercayaan yang
sama. Dapatlah dikatakan bahwa sejarahnya bersih dari hal-hal yang demikian.
Dia sanggup mempersatukan bersama di dalam kedamaian berbagai kelompok manusia.

Buddhisme yang mengklaim pengikutnya sebanyak seperlima dari umat manusia
selalu menghormati kepercayaan yang lain dan tidak pernah mencoba mempengaruhi
mereka dengan kekerasan. Pustaka Buddha permulaan menceriterakan bagaiman
Buddha mengutuk kecenderungan dari berbagai kelompok untuk memamerkan ajaran
mereka dan menjelek-jelek-an ajaran lain (Suta Nipata, 782, Angukara Nikaya,
57,1., dimana Buddha menganjurkan pemberian hadiah dari pengikutnya juga kepada
yang non-Buddhist).

Dia mengakui hak dari yang non-Buddhist untuk naik ke sorga. Di dalam Mijjima
Nikaya beliau menyebutkan Ajivaka memperoleh surga karena kepercayaannya atas
karma. Buddha sangat menghargai para brahmin yang sungguh-sungguh menjalani
hidup yang bermoral. Buddha meminta para pengikutnya untuk menghindari diskusi
yang membuahkan ketidak senangan di antara sekte yang berbeda:

Penguasa Hindu dan Buddha di India bertindak dengan menggunakan azas ini dan
sebagai akibatnya, mereka yang dihukum karena alasan agama dan pelarian dari
berbagai agama menemukan perlindungan di burmi India. Yahudi, Kristiani dan
Parsi diberikan kebebasan untuk mengembangkan kepercayaan mereka. Yuan Chang
melaporkan bahwa di dalam festival besar Prayaga, Raja Harsa meresmikan pada
hari pertama area Buddha, satunya lagi area Dewa Matahari, dewata kesukaan
ayahnya pada hari kedua dan Siva pada hari ketiga. Prasasti Kottayam di
Sthanuravi dan prasasti Cochin dari Vij ayaragadeva menjelaskan bukti bahwa
raja-raja Hindu bukan saja mentolerir Kristiani tetapi memberikan konsesi
khusus kepada seorang guru besar dari kepercayaan terse but. Seorang Pangeran
dari Mysore menyampaikan sumbangan untuk pembangunan kembali gereja Kristiani
di negaranya. Sekarang dunia menjadi tempat yang lebih kecil karena petualangan
dan muzizat yang dibawa oleh ilmu pengetahuan. Negara-negara luar menjadi
tetangga sebelah kita. Berbaumya penduduk membawa saling pertukaran fikiran.
Secara pelahan kita menyadari bahwa dunia ini adalah kelompok kerjasama yang
tunggal. Agama­~gama lain sudah menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan dan
kita mencari segenap jalan supaya kita bisa hidup di dalam harmoni. Kita tidak
mungkin memiliki persatuan agama dan kedamaian selama kita menekankan
bahwasanya kitalah yang memiliki sinar dan yang lain bergumul di dalam
kegelapan. Penekanan ya~g demikian adalah tantangan suatuperkelahian. Cita-cita
politis tentang dunia bukanlah suatu kekuasaan tunggal dengan peradaban yang
seragam dan kemauan bersama yang tunggal, melainkan persaudaraan dari
negara-negara yang merdeka, yang berbeda di dalam cara hidup dan cara berfikir,
kebiasaan dan institusinya, berada bersama sama di dalam keteraturan dan
perdamaian, harmoni dan koperasi dan masing masing menymbang kepada dunia hal
hal terbaik dan unik, yang tidak bisa dikurangi oleh hal hal yang dipunyai oleh
negara linnya. Ketika dua atau tiga kepercayaan yang berbeda menyatakan bahwa
mereka mengandung wahyu yang merupakan inti dan pusat kebenaran dan penerimaan
dari hal ini adalah jalan satu-satunya ke surga maka pertentangan sudah pasti
tidak bisa dihindarkan. Di dalam pertentangan yang demikian satu agama tidak
akan membiarkan yang lain untuk menang dan tidak ada satupun yang akan mencapai
ketinggian sampai seI?uanya berubah n:enjadi abu dan pumg. Semangat demokrasi
dengan kepercayaan yang dalam kepada kebebasan untuk memilih tujuan akhir dari
setiap orang dan arah dari jalur seseorang di dalam usahanya untuk realisasinya
sendiri menjadikan hal ini realistis. Tiada sesuatupun adalah baik kalau bukan
merupakan pilihan sendiri ; tidak ada penentuan nasib yang berharga kalau bukan
penentuan nasib sendiri. Agama yang berlainan seharusnya secara tulus belajar
untuk mengulurkan tangan persahabatan di antara mereka di seluruh dunia.

[Kutipan dari HINDU DHARMA
Karangan Sarvapali Radhakrishnan, terjemahan Agus S. Mantik]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar